Ia seorang wanita keturunan bangsawan dari kabilah Anshar suku
Khazraj memiliki sifat keibuan dan berwajah manis menawan. Selain itu ia
juga berotak cerdas penuh kehati-hatian dalam bersikap, dewasa dan
berakhlak mulia, sehingga dengan sifat-sifatnya yang istimewa itulah
pamannya yang bernama Malik bin Nadhar melirik dan mempersuntingnya.
Rumaisha Ummu Sulaim binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Malik adalah
satu dari wanita saliha yang memiliki kedudukan istimewa di mata
Rasulullah.
Pada saat Rasululllah menyerukan dakwah menuju tauhid,
tanpa keraguan lagi Ummu Sulaim langsung memeluk agama Islam, dan tidak
peduli akan gangguan dan rintangan yang kelak akan dihadapinya dari
masyarakat jahili paganis.
Namun suaminya, Malik bin Nadhir sangat
marah saat mengetahui istrinya telah masuk Islam. Dengan dada gemuruh
karena emosi, ia berkata pada Ummu Sulaim: “Engkau kini telah
terperangkap dalam kemurtadan!”
“Saya tidak murtad. Justru saya
kini telah beriman,” jawab Ummu Sulaim dengan mantap. Dan kesungguhan
Ummu Sulaim memeluk agama Allah tidak hanya sampai di situ. Ia juga
tanpa bosan berusaha melatih anaknya, Anas, yang masih kecil untuk
mengucapkan dua kalimat syahadat.
Melihat kesungguhan istrinya
serta pendiriannya yang tak mungkin tergoyahkan membuat Malik bin Nadhir
bosan dan tak mampu mengendalikan amarahnya. Hingga ia kemudian
bertekad untuk meninggalkan rumah dan tidak akan kembali sampai istrinya
mau kembali kepada agama nenek moyang mereka. Ia pun pergi dengan wajah
suram. Sayangnya, di tengah jalan ia bertemu dengan musuhnya, kemudian
ia dibunuh..
Saat mendengar kabar kematian suaminya dengan
ketabahan yang mengagumkan ia berkata, “Saya akan tetap menyusui Anas
sampai ia tak mau menyusu lagi, dan sekali-kali saya tak ingin menikah
lagi sampai Anas menyuruhku.”
Setelah Anas agak besar, Ummu Sulaim
dengan malu-malu mendatangi Rasulullah dan meminta agar beliau bersedia
menerima Anas sebagai pembantunya. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
sallam pun menerima Anas dengan rasa gembira. Dan dari semua
keputusannya itu, Ummu Sualim kemudian banyak dibicarakan orang dengan
rasa kagum.
Dan seorang bangsawan bernama Abu Thalhah tak luput
memperhatikan hal itu. Dengan rasa cinta dan kagum yang tak dapat
disembunyikan tanpa banyak pertimbangan ia langsung melangkahkan kakinya
ke rumah Ummu Sulaim untuk melamarnya dan menawarkan mahar yang mahal.
Namun di luar dugaan, jawaban Ummu Sulaim membuat lidahnya menjadi kelu
dan rasa kecewanya begitu menyesakkan dada, meski Ummu Sulaim berkata
dengan sopan dan rasa hormat,
“Tidak selayaknya saya menikah
dengan seorang musyrik, ketahuilah wahai Abu Thalhah bahwa sesembahanmu
selama ini hanyalah sebuah patung yang dipahat oleh keluarga fulan. Dan
apabila engkau mau menyulutnya api niscaya akan membakar dan
menghanguskan patung-patung itu.”
Perkataan Ummu Sulaim amat telak
menghantam dadanya. Abu Thalhah tak percaya dengan apa yang ia lihat
dan ia dengar. Namun itu semua merupakan realita yang harus ia terima.
Abu Thalhah bukanlah orang yang cepat putus asa. Dikarenakan cintanya
yang tulus dan mendalam terhadap Ummu Sulaim, di lain kesempatan ia
datang lagi menjumpai ibunda Anas dan mengiming-iming mahar yang lebih
wah serta kehidupan kelas atas.
Sekali lagi, Ummu Sulaim muslimah
yag cerdik dan pintar ini tetap teguh dengan keimanannya. Sedikit pun ia
tidak tergoda oleh kenikmatan dunia yag dijanjikan oleh Abu Thalhah.
Baginya kenikmatan Islam akan lebih langgeng daripada seluruh kenikmatan
dunia. Masih dengan penolakanya yang halus ia menjawab , “Sesungguhnya
saya tidak pantas menolak orang yang seperti engkau, wahai Abu Thalhah.
Hanya sayang engkau seorang kafir dan saya seorang muslimah. Maka tak
pantas bagiku menikah denganmu. Coba Anda tebak apa keinginan saya?”
“Engkau
menginginkan dinar dan kenikmatan,†kata Abu Thalhah. “Sedikitpun
saya tidak menginginkan dinar dan kenikmatan. Yang saya inginkan hanya
engkau segera memeluk agama Islam,” tukas Ummu Sualim tandas.
“Tetapi
saya tidak mengerti siapa yang akan menjadi pembimbingku?” Tanya Abu
Thalhah. “Tentu saja pembimbingmu adalah Rasululah sendiri,” tegas Ummu
Sulaim.
Maka Abu Thalhah pun bergegas pergi menjumpai Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa sallam yang mana saat itu tengah duduk bersama
para sahabatnya. Melihat kedatangan Abu Thalhah, Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa sallam berseru, “Abu Thalhah telah datang kepada kalian, dan
cahaya Islam tampak pada kedua bola matanya.”
Ketulusan hati Ummu
Sulaim benar-benar terasa mengharukan relung-relung hati Abu Thalhah.
Ummu Sulaim hanya akan mau dinikahi dengan keislamannya tanpa sedikitpun
tegiur oleh kenikmatan yang dia janjikan. Wanita mana lagi yang lebih
pantas menjadi istri dan ibu asuh anak-anaknya selain Ummu Sulaim?
Hingga tanpa terasa di hadapan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam
lisan Abu Thalhah basah mengulang-ulang kalimat, “Saya mengikuti ajaran
Anda, wahai Rasulullah. Saya bersaksi, bahwa tidak ada ilah yang berhak
diibadahi kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah
utusanNya.”
Ummu Sulaim tersenyum haru dan berpaling kepada anaknya Ana, “Bangunlah wahai Anas.”
Menikahlah
Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah, sedangkan maharnya adalah keislaman
suaminya. Hingga Tsabit -seorang perawi hadits- meriwayatkan dari Anas,
“Sama sekali aku belum pernah mendengar seorang wanita yang maharnya
lebih mulia dari Ummu Sulaim, yaitu keislaman suaminya.” Selanjutnya
mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang damai dan sejahtera dalam
naungan cahaya Islam.
Abu Thalhah sendiri adalah seorang
konglomerat nomor satu dari kabilah Anshar. Dan harta yang paling dia
cintai yaitu tanah perkebunan “Bairuha”. Tanah perkebunan itu letaknya
persis menghadap masjid. Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri pernah minum air segar yang ada di lokasi itu, sampai kemudian
turun ayat yang berbunyi:
“Sekali-kali belum sampai pada kebaktian yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Ali Imran:92)
Mendengar
ayat ini, kontan Abu Thalhah menghadap Rasulullah. Setelah membacakan
ayat tadi Abu Thalhah melanjutkan, “Dan sesungguhnya harta yang paling
saya cintai adalah tanah perkebunan Bairuha. Saat ini tanah itu saya
sedekahkan untuk Allah dengan harapan akan mendapatkan ganjaran kebaikan
dari Allah kelak. Maka pergunakanlah sekehendak Anda, wahai
Rasulullah.”
Dan bersabdalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wasallam, “Bakh, bakh itu adalah harta yang menguntungkan dan saya telah
mendengar perkataanmu tentang harta itu dan saya sekarang berpendapat
sebaiknya engkau bagi-bagikan tanah itu untuk keluarga kalian.”
Abu
Thalhah pun menuruti perintah Rasululah dan membagi-bagikan tanah itu
kepada sanak familinya dan anak keturunan pamannya. Tak berapa lama Alah
memuliakan seorang anak laki-laki kepada pasangan berbahagia itu dan
diberi nama Abu Umair. Suatu kali burung kesayangan Abu Umair mati
sehingga Abu Umair menangis dengan sedih. Saat itu lewatlah Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wasallam di hadapannya. Melihat kesedihan Abu Umair,
Rasulullah segera menghibur dan bertanya, “Wahai Abu Umair apa gerangan
yang diperbuat oleh burung kecil?”
Namun takdir Allah memang tak
mampu diduga. Allah subhanahu wa ta’ala kembali ingin menguji kesabaran
pasangan sabar ini. Tiba-tiba saja, bocah mungil mereka Abu Umair jatuh
sakit sehingga ayah dan ibunya dibuat cemas dan repot. Padahal ia adalah
putra kesayangan Abu Thalhah. Jika ia pulang dari pasar, yang pertama
kali ditanyakan adalah kesehatan dan keadaan putranya dan ia belum
mereasa tenang bila belum melihatnya. Tepat pada waktu sholat, Abu
Thalhah pergi ke masjid. Tak lama setelah kepergiannya, putranya Abu
Umair menghembuskan nafas terakhir.
Ummu Sulaim memang seorang ibu
mukminah yang sabar. Ia menerima peristiwa itu dengan sabar dan tenang.
Ummu Sulaim lantas menidurkan putranya di atas kasur dan berujar
berulang-ulang, “Innaa lillahi wa inna ilaihi rrji’un.” Dengan suara
berbisik ia berkata kepada sanak keluarganya, “Jangan sekali-kali kalian
memberitahukan perihal putranya pada Abu Thalhah sampai aku sendiri
yang memberitahunya.”
Sekembalinya Abu Thalhah, alhamdulillah, air
mata kesayangan Ummu Sulaim telah mongering. Ia menyambut kedatangan
suaminya dan siap menjawab pertanyaannya.
“Bagaimana keadaan putraku sekarang?”
“Dia lebih tenang dari biasanya.” Jawab Ummu Sulaim dengan wajar.
Abu
Thalhah merasa begitu letih hingga tak ada keinginan menengok putranya.
Namun hatinya turut berbunga-bunga mengira putranya dalam keadaan sehat
wal afiat. Ummu Sulaim pun menjamu suaminya dengan hidangan yang
istimewa dan berdandan serta berhias dengan wangi-wangian, membuat Abu
Thalhah tertarik dan mengajaknya tidur bersama.
Setelah suaminya
terlelap, Ummu Sulaim memuji kepada Allah karena berhasil menentramkan
suaminya perihal putranya, karena ia menyadari Abu Thalhah telah
mengalami keletihan seharian, sehingga ia amembiarkan suaminya tertidur
pulas.
Menjelang subuh, baru Ummu Sulaim berbicara pada suaminya,
seraya bertanya, “Wahai Abu Thalhah apa pendapatmu bila ada sekelompok
orang meminjamkan barang kepada tetangganya lantas ia meminta kembali
haknya. Pantaskan jika si peminjam enggan mengembalikannya?”
“Tidak,” jawab Abu Thalhah.
“Bagaimana jika si peminjam enggan mengembalikannya setelah menggunakannya?”
” Wah, mereka benar-benar tidak waras,” Abu Thalhah menukas.
“Demikian
pula putramu. Allah meminjamkannya pada kita dan pemiliknya telah
mengambilnya kembali. Relakanlah ia,” kata Ummu Sulaim dengan tenang.
Pada mulanya Abu Thalhah marah dan membentak, “Kenapa baru sekarang kau
beritahu, dan membiarkan aku hingga aku ternoda (berhadats karena
berhubungan suami istri)?”
Dengan rasa tabah Ummu Sulaim tak
henti-henti mengingatkan suaminya hingga ia kembali istirja dan memuji
Allah dengan hati yang tenang.
Pagi-pagi buta sebelum cahaya
matahari kelihatan penuh, Abu Thalhah menjumpai Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian itu. Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Semoga Allah subhanahu wa ta’ala
memberikan barakah pada malam pengantin kalian berdua.”
Benar saja
Ummu Sulaim lantas mengandung lagi dan melahirkan seorang anak yang
diberi nama Abdullah bin Thalhah oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
sallam. Dan subhanallah barakahnya ternyata tak hanya sampai di situ.
Abdullah kelak di kemudian hari memiliki tujuh orang putra yang semuanya
hafizhul Qur’an. Keutamaan Ummu Sulaim tidak hanya itu, Allah subhanahu
wa ta’ala juga pernah menurunkan ayat untuk pasangan suami istri itu
dikarenakan suatu peristiwa. Sampai Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
sallam menggembirakannya dengan janji surga dalam sabdanya
“Aku
memasuki surga dan aku mendengar jalannya seseorang. Lantas aku bertanya
“Siapakah ini?” Penghuni surga spontan menjawab “Ini adalah Rumaisha
binti Milhan, ibu Anas bin Malik.”
Selamat untukmu Ibunda Anas!
No comments:
Post a Comment